METROPOST.ID- Senator Aceh Fachrul Razi menyatakan, Pemerintah Pusat seperti tidak berkomitmen untuk menyelesaikan poin-poin MoU Helsinki RI-GAM yang telah ditandatangani di Finlandia, 15 Agustus 2005 lalu. Untuk itu, saat ini dunia Internasional harus tau jika persoalan MoU belum selesai di Aceh.
“Hari ini saya menghadiri kongres Mualimin Aceh dan acaranya berlangsung damai dan aman, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak TNI/Polri, yang telah ikut mengamankan berlangsung acara tersebut,”ucap Senator Aceh Fachrul Razi, kepada awak media, pada Kamis 5 April 2021.
Disebutkan, hasil kongres itu para eks GAM Tripoli, para pimpinan KPA diseluruh wilayah di Aceh, berkomitmen menjaga perdamaian dan perdamaian ini harus dijaga dengan baik. Namun, Pemerintah Pusat harus benar-benar menyelesaikan poin-poin MoU Helsinki RI-GAM yang hari ini belum selesai. “Kita tetap berpegang teguh pada MoU Helsinki, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,”ungkapnya.
Oleh karena itu, kata dia, dengan ada gejolak dilapangan, ketidakpuasan daripada masyarakat, maka mualimin Aceh berkumpul untuk menyatukan sikap agar tidak terprovokasi dengan pihak-pihak yang ingin menghancurkan perdamaian Aceh, dan ingin membawa Aceh kejurang konflik dan sebagiannya.
“Saya menjadi saksi, melihat dan insyaallah, perdamaian di Aceh akan semakin kuat, perdamaian ini akan semakin kuat jika Pemerintah Pusat benar-benar merealisasikan butir-butir MoU Helsinki,”cetusnya.
Namun, ia menilai, saat ini Pemerintah Pusat menampakkan kelemahannya dalam melakukan implementasi MoU dan komitmennya juga sangat rendah. “Yang saya apresiasi adalah kesabaran dari pimpinan GAM dan para mualimin Aceh yang melihat realitas politik yang 16 tahun, yang tidak konsistenan pusat,”pintanya.
Selain itu, ia menjelaskan, ada 11 poin yang bertentangan undang-undang Pemerintah Aceh dengan MoU Helsinki. Persoalaan pokok adalah ketika UUPA disahkan, itu berbentangan dengan MoU Helsinki, terjadi redupsi dan kelemahan pasal-pasal dalam MoU Helsinki yang diakomudir dalam UUPA. Kemudian, dilemahkan lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP), artinya kekhususan Aceh dan kewenangan Aceh tidak ada.
“Kita menjaga Aceh tetap damai, jangan seperti Papua, sekarang Papua sudah bergejolak dan menolak Otsus serta undang-undang khusus dan lain sebagainya,”katanya. Akan tetapi, persoalan Aceh saat ini sangat tergantung pemerintah pusat, karena pemerintah pusat periodenya lima tahun sekali.
“Ganti presiden ganti kebijakan dan ganti menteri ganti kebijakan, tapi yang sangat kita rasakan adalah siapapun yang menjadi menteri dan yang menjadi pimpinan di republik ini, kalau tidak konsisten dengan perdamaian, ini yang menjadi permasalahan besar, jadi dunia Internasional harus tau, bahwa persoalan Aceh saat ini yang tidak konsisten adalah Pemerintah Pusat,”cetusnya. (harianrakyataceh/metropost.id)