METROPOST.ID-Tugu Koin Teluk Samawi yang dilengkapi dengan kapal Cakradonya di bagian atas tugu berada di halaman Museum Kota Lhokseumawe. Tugu yang dibangun oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe menjadi representatif keadaan ekonomi Lhokseumawe sebelum era petro dollar hadir, yaitu ketika masa kesultanan Aceh dulu.
Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Zul Afrizal menyampaikan, tugu itu mempunyai makna bahwa perdagangan yang telah berjalan dahulu tidak hanya antar masyarakat setempat, namun juga telah merambah hingga ke suluruh Asia.
“Tugu ini juga menjadi bagian upaya memugar hati dan pikiran masyarakat jika Lhokseumawe pernah jaya secara ekonomi dari zaman dulu,”ucap Zul Afrizal akrab disapa Joel Pase.
Sementara itu, dikutip dari Mapesa Aceh, bahwa Koin Teluk Samawi ini rata-rata berdiameter 24 milimeter, dengan ketebalan 2 milimeter, dengan berat rata-rata 3 gram. Koin memiliki dua sisi, yang masing-masing sisi memuat tulisan ‘Arab. Yakni tertulis “𝘑𝘢𝘶𝘩𝘢𝘳 𝘈𝘭-‘𝘈𝘭𝘢𝘮 𝘚𝘺𝘢𝘩” dan sisi lainnya bertulis “𝘛𝘦𝘭𝘶𝘬 𝘚𝘢𝘮𝘢𝘸𝘪 1226”
Tulisan angka tahun pada koin Sulthan Jauharul ‘Alam Syah ini merupakan angka tahun yang pertama ditulis menggunakan angka Arab Barat disebuah koin sepanjang sejarah Aceh.
Angka Arab Barat merupakan angka Arab yang digunakan oleh orang Arab di Maghrib (Libya, Tunisia, Maroko, dan Al-Jazair) dan Al-Andalusia, yang kemudian digunakan oleh orang Eropa bersama dengan angka Latin hingga saat ini.
Di Kepulauan Melayu sendiri, angka Arab Barat diperkenalkan oleh orang-orang Eropa, yang sebelumnya masyarakat kepulauan menggunakan angka Arab Timur seperti yang digunakan di Semenanjung Arab, Persia, dan Asia Selatan. Angka Arab Barat sendiri merupakan perkembangan dari angka Arab Timur, yang asalnya diambil dari angka India.
Secara umum untuk koin timah di Aceh disebut dengan “keuh”. Istilah yang sama digunakan untuk “cash” dalam bahasa Inggris, yang berasal dari “caixa” bahasa Potugis, itu diambil dari bahasa Tamil untuk “kasu” sebagai satuan moneter yang digunakan di India bagian Selatan, yang akhirnya berasal dari bahasa Sanskerta “karsa” untuk menyebut satuan berat perak dan Emas di India pada masa klasik.
Koin Teluk Samawi muncul pertama kali dalam karya kajian mata uang Prof. Hendrik Chistiaan Milliës dengan judul “Recherches Sur Les Monnaies Des Indigènes De L’archipel Indien et La Pèninsule Malaie” (Penelitian Uang Koin Penduduk Asli Kepulauan di Semenanjung Melayu), La Haye, Nijhoff, 1871.
Pada tahun 1866 Tuan H. C. Millies, profesor bahasa dan sastra oriental di Utrecht mengadakan korespondensi dengan Tuan Millard (sekretaris di Institut Kerajaan untuk Filologi dan Etnografi Hindia Belanda), tentang penerbitan sebuah karya terkait koin-koin Hindia Belanda. Karya yang dijanjikan berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan ini akhirnya dapat diterbitkan pada 1871, setelah kematian Milliës pada 26 Nopember 1868.
Koin Teluk Samawi dirinci pada halaman 105. “Teluk Samawi” diterjemahkan ke bahasa Prancis sebagai “port ou baie céleste”. Samawi sama dengan Céleste, tentu itu dimaknai dari Bahasa Arab. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Céleste memiliki sinonim: angkasa, surgawi, ilahi, sempurna, menakjubkan.
Cetakan koin Teluk Samawi hingga kini belum ada laporan pernah dijumpai. Namun, jika mengacu pada cara pembuatan koin pada umumnya, kemungkinan cara pembuatan koin ini sama dengan pembuatan koin timah lainnya.
Umumnya cetakan berbahan pasir, tanah liat, kayu, atau batu. Satu cetakan biasanya dapat memuat beberapa koin. Bahan cetakan tersebut sebelumnya telah diukir karakter negatif untuk dua sisi koin, lalu logam dituang melalui lubang yang dibuat di bagian tepi.
Berdasarkan gambar-gambar koin Teluk Samawi yang diperoleh dari berbagai kolektor dan museum, karakter dan posisi huruf satu sama lain memiliki perbedaan. Ini menandakan master cetakan diukir tidak seragam, dan hal ini sangat umum terjadi pada koin-koin logam di belahan dunia sejak dahulu.
Koin Teluk Samawi ini termasuk koin yang sangat jarang dijumpai dibandingkan koin keuh lainnya dari wilayah Aceh, walaupun periodenya cukup dekat dari masa sekarang. Ada indikasi bahwa koin ini dicetak sangat terbatas yang diedarkan di wilayah kekuasaan sultan guna mendukung peraturan yang dibuat sebelum koin diterbitkan.
Selain itu, Teluk Samawi juga menjadi bagian jalur perdagangan sebagai pelabuhan singgahan untuk berbagai perbaikan, menyuplai perbekalan, dan memasok batu bara atau air.
Berdasarkan kajian Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) bahwa kepentingan Teluk Samawi di jalur pelayaran dunia sebenarnya telah diketahui sejak ratusan tahun sebelum kedatangan Von Schmidt (Kapten Laut Belanda).
Sedikitnya, sejak abad ke-7 Hijriah (ke-13 Masehi), sebuah kerajaan Islam telah memantapkan keberadaannya di pesisir teluk ini.
Von Schmidt menyatakan bahwa Teluk Samawi memiliki lokasi yang bagus, di mana dalam waktu yang sama ratusan kapal besar dapat menemukan tempat berlabuh yang bagus, dan kapal-kapal kecil dalam jumlah yang banyak dapat bersandar di dekat pantai.
Bahkan, dalam kondisi angin timur laut yang bertiup terus-menerus, rumpun-rumpun bambu dan pantai dapat bertahan di sepanjang laguna yang tidak hanya cocok untuk kapal-kapal kecil, tapi juga untuk kapal yang dapat dilayari. (*)